Acara memperebutkan makanan yang disebut saparan atau jolenan ini dipercaya sebagai arena memperoleh berkah dari Tuhan sekaligus ungkapan syukur atas berkat yang diterima Sang Pencipta karena hasil tanaman buah-buahan dan palawija yang melimpah.

Selain alasan di atas, saparan dipergunakan juga sebagai suatu alat silaturahmi antar penduduk desa Somongari. Begitu berartinya tujuan kekerabatan itu, para perantau selalu memerlukan diri pulang kampung untuk mengikuti acara ini. Bahkan di saat lebaran, pemudik yang datang tidak sebanyak saat saparan tiba. Di Jakarta malah disediakan bus khusus untuk para warga desa Somongari yang ingin pulang.

"Saya tidak pernah absen mengikuti acara ini. Soalnya di dalamnya juga terkandung kenangan terhadap cikal bakal desa, yang telah mendirikan desa tersebut," kata seorang bapak yang di Jakarta bekerja di sebuah rumah sakit pemerintah.

Sementara yang lain punya alasan khusus juga. "Saya merasa harus pulang, menjelang Saparan. Karena orang-orang bergotong royong sesuai dengan kemampuannya. Apalagi untuk perantau seperti saya, selain menyumbang uang, juga ingin membantu sesuai keahlian yang saya miliki," ujar seorang penduduk desa Somongari yang merantau ke Jakarta kepada Sedap Sekejap.

Makanan yang diperebutkan antara lain terdiri dari 3 buah tumpeng lengkap dengan lauknya seperti ayam panggang dan sambal goreng hati, aneka ledre (kerupuk singkong) warna-warni, binggelan (aci goreng) yang dibentuk aneka macam, buah-buahan atau bebunggaan. Semua makanan ini digantung dalam pikulan kecuali tumpeng yang dibungkus dalam anyaman daun aren berbentuk kerucut (jolenan = kerucut). Tiap rukun tetangga menyiapkan paling sedikit 2 pikulan. Hingga satu desa memiliki 80 pikulan.
(sumber artikel :
Urip Santoso)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar